Explore Bali Island

Sejarah Asal Usul Adanya Banjar di Bali

Sekilas tentang Banjar di Bali 
Kata Banjar di Bali, sudah dikenal dari jaman dulu yang hanya mengurus masalah irigasi atau pengairan sawah yang dikenal dengan subak, karena maklum pada saat sebagaian besar penduduk mengandalkan mata pencaharian sebagai petani, beda dengan sekarang Bali yang menjadi daerah wisata dan seiring dengan perkembangan jaman, banjar memiliki fungsi yang lebih luas, yaitu untuk mengurus surat-surat administrasi pemerintahan seperti membuat KTP, Kartu Keluarga, kipem (untuk penduduk pendatang) dan untuk pendaftaran anak sekolah di tingkat sekolah dasar terutama untuk wilayah Kodya Denpasar. Sistem pemerintahan tingkat bawah ini persis seperti RT/RW. Di bawah banjar ini masih ada lagi, kelompok-kelompok kecil yang dinamakan tempekan atau banjar tempekan. 
Foto Kuno Tahun 1930's | Krama Banjar sedang Berkumpul Melakukan Aktivitas Seni di Depan Bale Banjar

Bale banjar di Bali Menurut fungsi, di Bali ada 2 jenis banjar, yaitu Banjar Dinas dan Adat. Banjar Dinas fungsinya untuk urusan pemerintahan, pembagian wilayah administratif di bawah Kelurahan atau Desa ini di kepalai oleh Kelian Dinas atau Kepala Lingkungan, setingkat dengan RT/RW, bedanyana nama identitas dari RT/RW memakai nomer angka, sedangkan Banjar memakai nama seperti Banjar (sering disingkat dengan Br.) Br. Ekasila, Br. Legian Kaja, Br. Titih, Br. Muding Mekar, Br. Gede dan banyak-banyak lagi yang lainnya. Satunya lagi Banjar Adat, fungsinya untuk urusan adat seperti dalam upacara agama di Pura-pura yang ada di desa bersangkutan, upacara perkawinan, ada kematian warga terutama yang beragama hindu. 

Banjar adat ini dikepalai oleh Kelian Adat, yang sifatnya sosial (tanpa gaji bulanan, seperti kelian Dinas), sebagai pengaman dinamakan pecalang, yaitu polisi adat yang terdidri anggota masyarakat setempat yang berfungsi mengatur keamanan saat upacara agama berlangsung. 

Banjar atau bale banjar ini memang memiliki fungsi penting di tanag Dewata ini, selain untuk balai pertemuan warga yang berfungsi juga untuk lebih mengenal satu warga dengan warga lainnya. Dipakai juga untuk kegiatan posyandu, sebagai tempat pelestarian seni seperti seni tari ataupun gamelan, kegiatan ibu-ibu PKK, kegiatan muda-mudi, utsaha dharmagita, bahkan bisa dipinjam untuk kegiatan upacara seperti tempat ngaben ataupun pesta pernikahan. Pada saat pemilu bale banjar digunakan sebagai tempat pemungutan suara (TPS). 

Banjar merupakan warisan leluhur yang patut terus dijaga. Dengan adanya banjar, ada juga ikatan kepada semua warga yang sewaktu-waktu dijadikan tempat pertemuan masyarakat, sehingga menimbulkan kedekatan sesama warga. 

Sejarah Asal Usul Adanya Banjar di Bali 
Dikaji dari sudut ilmu sejarah, asal-usul keberadaan banjar sulit untuk diketahui secara jelas sejarahnya. Namun dari cerita-cerita legenda dan cerita-cerita rakyat di bali dapat diyakini kebenarannya. Banjar, pengertian ini menunjuk kepada suatu wilayah yang dihuni oleh penduduk yang beragama hindu. 

Foto Kuno Tempo Doeloe (Tropen Museum)  Bale Kulkul Dan Bangunan dengan Atap Alang-alang
Sebagai tempat berkumpulnya warga Desa diyakini sebagai Bale Banjar 
Foto ini diambil tahun 1900

Maka sulit untuk menemukan data-data mengenai sejarah banjar ini, meskipun segala sesuatunya itu masih harus dilihat dari sudut ilmu sejarah. 

Istilah banjar telah dikenal pada jaman prasejarah bali. Pada tahun 836 caka atau 914 masehi dalam prasasti gobleg pura desa yang berbahasa bali kuno. 

Pada prasasti itu disebutkan "......ser tunggalan banjar di indrapura." yang artinya "....pengawasan bersama tunggalan untuk lingkungan atau kelompok di indrapura." Salah satu bukti yang mendukung sejarah banjar di bali Adanya suatu cerita yang terdapat dalam lontar Maharsi Markandya sebagai bukti yang mendukung sejarah banjar di bali. Cerita itu di antara lain isinya sebagai berikut : 

Seorang Maharsi bernama Maharsi Markandya pada mulanya bertapa di Gunung Raung (Jawa Timur), melakukan perjalanan ke Bali bersama 500 orang pengikutnya, dengan maksud untuk perambahan hutan yang akan dijadikan sebagai lahan pertanian dan tempat pemukiman/tempat tinggal. Mereka bermula tiba di Taro, yakni wilayah Kecamatan Tegalalang Kabupaten Gianyar (Sekarang). Di sini (Taro) mereka mula-mula perambahan hutan dilakukan. Namun usaha Maharsi Markandya tidak berhasil oleh karena banyak banyak diantara pengikut Maharsi Markandya menderita sakit, diserang binatang-binatang buas, dan diantara pengikutnya meninggal dunia. 

Kegagalan Maharsi Markandya bersama pengiringnya tidak menjadikan keputus asaan. Maharsi Markandya kembali melakukan upacara ritual (Bertapa) di Gunung Raung hingga beberapa waktu lamanya dan kemudian berangkat lagi ke Bali bersama para pengikutnya yang masih hidup. *Namun kedatangan yang kedua kalinya di Bali ini, Maharsi Markandya terlebih dahulu melakukan upacara ritual Hindu yang dinamakan Bhuta Yadnya. Beliau menanamkan lima jenis logam pelengkap upakara yadnya, pada suatu tempat di kaki Gunung Agung, sekarang dikenal dengan nama Pura Basukian di Besakih. Setelah selesai Bhuta Yadnya, beliau beserta pengiringnya menuju Taro, yang kemudian pekerjaan perambasan hutan dilanjutkan kembali. Alhasil, pembukaan hutan berjalan dengan baik, yang selanjutnya beliau melakukan pembagian lahan garapan dan pemukiman kepada pengikutnya. Tempat beliu mengadakan pembagian tanah itu sekarang dikenal dengan nama Desa Puakan, yang terletak di sebelah utara Desa Taro. Menurut cerita masyarakat setempat, nama Desa Puakan berasal dari kata Piakan, yang artinya pembagian. 

Pada perkembangan sejarahnya, keturunan dari para pengikut Maharsi Markendya ini, menyebar luaskan tempat-tempat pemukiman baru serta bertempat tinggal di desa-desa yang baru didirikannya. Perluasan tempat tinggal baru (Pemukiman) antara lain : Desa Pelaga, Desa Trunyan, Desa Batur, Desa Beratan, Desa Cempaga, Desa Sembiran, Desa Gobleg, Desa Tigawasa, dan masih banyak lagi perluasannya yang hampir semuanya terletak di daerah pegunungan. 

Maharsi Markandya seseorang penganut ajaran Hindu. Sebagai seorang Pendeta, beliau dikenal kesucian dan kebijaksanaannya. Dikalangan umat Hindu, beliau juga diperkirakan sebagai pencipta sistem pengairan disawah, sekarang dikenal dengan nama "Subak". 

Pada Garis besarnya, cerita diatas dianggap sebagai awal asal-usul satu bukti yang mendukung sejarah Banjar di Bali. 

Sumber : Buku Osai, XI

Foto Kuno Tempo Doeloe Bale Kulkul Banjar Kedaton, Kesiman Denpasar, Bali Tahun 1930Sumber Foto


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...